Potensi CBM cukup melimpah di tanah air, diantaranya di Sumatera Selatan, Sumatera Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur, dengan cadangan mencapai 453 TSCF (Mentaben, Kompas). Potensi CBM tersebut terletak pada kedalaman 300-2000 meter dengan ketebalan 20-100 meter (BP Migas).
Secara fisis, batubara dicirikan dengan densitas dan kecepatan gelombang P (Vp) yang sangat rendah dibandingkan dengan lapisan penutupnya. Gambar di bawah ini (click untuk memperbesar) menunjukkan berbagai respon log pada batubara dan lapisan di sekitarnya. Terlihat bahwa, batubara memiliki densitas, Vp (1/sonic) serta gamma ray yang relatif rendah dibandingkan dengan batu lempung maupun lempung pasiran. Disamping itu, dibandingkan dengan sandstone, batubara memiliki Vp/Vs yang tinggi.
Dikarenakan memiliki densitas dan Vp yang sangat rendah, maka pada rekaman seismik, CBM akan menunjukkan respon amplitudo yang mencolok. Oleh karena itu, walaupun ketebalan CBM yang umumnya tipis, akan tetapi karena adanya respon amplitudo yang mencolok tersebut maka batas resolusinya menjadi λ/8 bukan lagi λ/4 (Gochioco, 1991). Dimana λ adalah panjang gelombang seismik.
Courtesy Troy Peters and Natasha Hendrick, Velseis Pty Ltd
Gambar di atas menunjukkan karakter seismik dari CBM yang ditunjukkan dengan respon amplitudo yang tinggi.
Untuk eksplorasi CBM dengan target yang dangkal, maka metode seismik yang tepat untuk diterapkan adalah High Resolution Seismic, dimana rentang frekuensi dominan-nya antara 50-150Hz.
Gambar di bawah ini menunjukkan penerapan High Resolution Seismic untuk target CBM sampai kedalaman sekitar 150 meter dengan frekuensi dominan ~120Hz.
Harvey Henson, Jr.* and John L. Sexton*, GEOPHYSICS, 1991
Kegiatan ekploitasi gas methane yang terperangkap dalam batubara harus diawali dengan aktivitas dewatering yaitu pemompaan air formasi terlebih dahulu agar gas methane yang terperangkap tersebut dapat diproduksi. Respon seismik, setelah dewatering dan sebelum dewatering akan menunjukkan perbedaan yang kontras.
Pengukuran di laboratorium menunjukkan bahwa terjadi penurunan Vp sebesar 27% dan densitas 18% setelah dewatering. Dikarenakan pengukuran laboratorium akan berbeda dengan pengukuran di lapangan, maka diasumsikan terdapat 10% penurunan densitas dan Vp (Richardson dan Lawton, 2002), sedangkan kecapatan gelombang S (Vs) tidak akan dipengaruhi oleh proses tersebut, sehingga terdapat kontras Poisson’s Ratio antara wet dan dry CBM.
Gambar di bawah ini menunjukkan perbedaan respon amplitudo sebagai fungsi dari sudut datang dari Rpp (merah) dan Rps (hijau) untuk wet dan dry coal.
Untuk mengurangi resiko eksplorasi, disamping memahami sifat amplitudo yang terang (bright) dan respon AVO di atas, maka perlu dilihat juga pendekatan yang lain seperti melihat hasil analisa kecepatan, seismik inversi, Quadrature seismic (pseudo impedance) untuk melakukan zonasi low velocity atau low impedance, serta elastic impedance inversion dari data angle stack (near, mid, far) untuk memproduksi Vp/Vs (zonasi anomaly Vp/Vs yang tinggi).
2 comments:
Pak Agus,
posting yang bagus..
tapi saya punya pertanyaan..
pada seismik oil/gas yang sudah ada,katakanlah statusnya post stack migrasi, apakah bisa diutak-atik frekuensinya supaya bisa mendeteksi batubara ????
salam,
Taufik
Berikut ciri batubara yg bisa diekstrak dr seismik:
1. Bright amplitude
2. High A+B
3. Low Impedance
Post a Comment