Wednesday, August 12, 2009

Pore Pressure Prediction

Pore Pressure Prediction (Prediksi Tekanan Pori) merupakan pekerjaan yang sangat penting dalam program pengeboran. Pore Pressure Prediction tersebut ditujukan diantaranya untuk keperluan desain casing (casing design), penentuan berat lumpur pengeboran (mud weight) serta prediksi overpressure yang merupakan zona yang berbahaya dalam pengeboran.
Jika hal ini tidak dilakukan dengan hati-hati, maka tidak mustahil bencana pengeboran seperti blow out akan terjadi. Gambar dibawah ini menunjukkan contoh bencana blow out akibat kick pada zona overpressure.

Courtesy EnergyindustryPhotos


Selain pore pressure (Pp), terdapat dua tipe tekanan yang lain yang harus dikuantifikasi yaitu fracture pressure (Pf) dan overburden pressure (Po). Pore pressure adalah tekanan yang diakibatkan oleh pori-pori batuan atau tekanan yang diakibatkan oleh ‘fluida’ batuan. Fracture pressure adalah tekanan maksimal untuk meng-hancurkan batuan (sampai titik ‘fracture’), jadi jika kita memiliki sample batuan lalu kita tekan, maka besaran tekanan untuk bisa menghancurkan batuan tersebut disebut fracture pressure. Sedangkan overburden pressure adalah tekanan yang diakibatkan oleh seluruh batuan penutup sampai ke permukaan (termasuk air laut). Masing-masing tekanan (dalam psi) tersebut diperoleh melalui persamaan:

Dimana ρi adalah densitas (g/cc) untuk lapisan ke-i, dan di adalah ketebalan untuk lapisan ke-i (feet). Ph adalah tekanan hidrostatik, untuk air tawar bernilai 8.33 ppg dan air garam bernilai 8.56 ppg (wikianswers), Vi adalah kecepatan interval (gelombang seismik), Vn adalah kecepatan normal untuk shale (normal trend), Δtn adalah transit time pada normal trend dan Δti nilai transit time yang terbaca (μsec/ft), γ adalah konstanta (biasanya 3) dan k adalah matrix stress coefficient yang diperoleh secara empirik dengan nilainya yang bervariasi dari satu tempat ke tempat yang lainnya (tentu saja tergantung pada jenis batuan, burial history, lingkungan pengendapan dll.) dan ppg adalah pound per gallon, dimana ppg=psi/(0.052*kedalaman dalam feet).

Gambar dibawah ini menunjukkan contoh nilai k (matrix stress coefficient) sebagi fungsi dari kedalaman:

Courtesy Djebbar Tiab & Erle C. Donaldson


Pada gambar di atas terlihat bahwa besaran k untuk South Texas bernilai sekitar 0.7 dan Lousiana Gulf Coast bernilai sebesar 0.82.

Gambar dibawah ini (klik untuk memperbesar) adalah contoh menentukan besaran Vi, Vn dari data sonic yang satuannya telah dikonversi menjadi ft/sec.

Modified from David W. Bell, AAPG Memoir 76, 2002


Pada gambar di atas terlihat bahwa normal trend akan meningkat secara gradual dari mulai permukaan sampai kedalaman tertentu. Kehadiran zona over pressure akan bersasosiasi dengan penurunan kecepatan gelombang secara tiba-tiba yang nilainya menyimpang dari nilai normal. Normal trend dibuat hanya pada data shale (dipisahkan dengan bantuan gamma ray). Normal trend dapat dibuat lebih dari satu tergantung dengan geologinya. Pada software komersial, penentuan normal trend dilakukan dengan try and error agar kurva pore pressure mirip dengan data RFT (Repeat Formation Tester ), MDT (Modular Dynamic formation Tester) yakni pengukuran pore pressure langsung pada sumur.

Prediksi tekanan pori dari data seismik dapat dilakukan melalui analisa kecepatan. Akan tetapi nilai kecepatan yang diperoleh belum tentu sepenuhnya merepresentasikan tekanan, karena sifat tekanan sangat bergantung kepada faktor lain seperti porositas, densitas, temperatur, poisson’s ratio dan lithologi. Sebagai contoh low impedance sandstone akan memiliki kecepatan relatif lebih kecil daripada shale yang menutupinya, dimana pada kurva kecepatan akan ditunjukkan seperti overpressure (padahal ini adalah efek lithologi). Oleh karena itu berbagai macam teknik digunakan untuk menghilangkan efek-efek luar selain efek tekanan tersebut. Sebagai contoh untuk data sonic di atas, efek lithologi dapat dihilangkan dengan melakukan low pass filter dan menghilangkan efek sand (hanya memplot shale saja dengan bantuan gamma ray).

Analisis kecepatan untuk pore pressure prediction dilakukan pada CMP gather yang telah di-makeup terlebih dahulu seperti multiple elimination (Radon Demultiple, gap deconvolution), PSTM, PSDM, spectral whitening atau spectral broadening dll. Demikian juga dengan teknik analisisnya, untuk struktur yang kompleks dapat dilakukan analis HVA (Horizon keyed Velocity Analysis, Automated Velocity Inversion (Mao et al, 2000), Reflection Tomography, dll.

Tetapi walaupun semua proses mutakhir processing dilakukan, adakalanya kualitas data tetap tidak sebaik yang diharapkan. Sebagai mana ditunjukkan pada gambar di bawah ini (klik untuk memperbesar):


Courtesy Satinder Chopra and Alan Huffman, April 2006 CSEG RECORDER


Pada gambar di atas terlihat bahwa CMP1 memiliki kualitas yang paling bagus disusul dengan CMP2 dan CMP3. CMP1 dikatakan bagus karena semblance terfokus dengan baik sehingga kita lebih confident untuk melakukan velocity picking pada puncak semblance tersebut. Sementara pada CMP3 ‘remnant multiples’ dan semblance yang tidak terfokus menyebabkan velocity picking menjadi terganggu.

Selain proses makeup di atas, pemilihan parameter processing pun harus dilakukan secara teliti. Gambar di bawah ini menunjukkan pengaruh penerapan serta desain mute terhadap resolusi semblance. Pada panel paling kiri terlihat bahwa analisis tanpa mute mengakibatkan kehilangan informasi semblance untuk zona dangkal, sedangkan penerapan mute yang agresif pada panel paling kanan menyebabkan kaburnya resolusi semblance.

Courtesy Satinder Chopra and Alan Huffman, April 2006 CSEG RECORDER

Analisa kecepatan untuk pore pressure prediction tidak cukup dilakukan hanya pada satu CMP saja. Gambar di bawah ini (kurva hitam adalah sonic log yang telah di-smoothing, dan merah adalah V-interval) menunjukkan analisa untuk satu CMP (a), rata-rata beberapa CMP dan perata-rataan secara waktu (b) dan perata-rataan untuk seluruh struktur dan waktu(c). Terlihat bahwa (c) memiliki nilai V-interval yang lebih bagus (robust). Dari gambar tersebut terlihat bahwa, V-interval yang robust merupakan trend (low frequency component) dari data sonic itu sendiri.

Courtesy eSeis.inc, 2002-2003

Lebih jauh lagi, karena adanya efek sudut penembakan (efek anisotropy, untuk kasus perlapisan horizontal), nilai kecepatan interval data seismik akan selalu lebih tinggi daripada kecepatan checkshot (aktual). Dengan demikian perlu dilakukan kalibrasi nilai kecepatan dengan mengkalikannya dengan sebuah skalar (biasanya <1.0).

Analisis tekanan untuk sebuah sumur eksplorasi memerlukan informasi tekanan dari sumur disekitarnya (offset well). Posisi offset well dapat berada ratusan bahkan ribuan kilometer. Tentu saja pemilihan informasi offset well harus didasarkan pada pertimbangan kemiripan geologi.

Informasi pada offset well biasanya berupa overburden pressure, pore pressure, mud weight ataupun hasil LOT (Leak off Test). LOT atau PIT (Pressure Integrity Test) merupakan pengukuran tekanan (fracture pressure) secara langsung pada fresh rock saat pengeboran. Dengan informasi pada offset well tersebut kita dapat melakukan interpolasi pada sumur yang akan dibor. Gambar di bawah ini menunjukan teknik interpolasi tekanan dari offset well untuk kasus connected system (dianggap reservoirnya berkomunikasi) dan unconnected system (tidak berkomunikasi).

Overburden Pressure (Po) pada posisi A dapat memberikan informasi besaran densitas geologi dari mulai mud line (water bottom) sampai TD (total depth), dengan menganggap densitas air laut = 1.025 g/cc, maka:

Po (psi)=0.433(6000*1.025+4000*d)
14.5*0.052*(4000+6000)=0.433*(6000*1.025+4000*d)
d=2.82g/cc (densitas batuan pada posisi A).

Jika karakter batuan pada posisi A mirip dengan posisi B, maka Po pada posisi B:

Po=0.433(1.025*1500+2.82*3500)= 4939.4475 psi= 19.0ppg

Sedangkan Pp pada sumur B (untuk kasus connected system):

PpB (psi) = PpA(psi)+0.44(TVDss B –TVDss A) = 12.1*0.052*(10000)+0.44(5000-10000)=4092psi=15.7ppg

Untuk unconnected system dilakukan dengan beberapa tahap:
a. WdB - WdA =1500 -6000 =-4500 ft
b. TVDrkbA-KBA-WdA+WdB+KBB =10100-100-6000+1500+30=5530ft
c. PpA(psi)=12.1*0.052*10100= 6354.92psi
d. dW=0.44(WdB-WdA)=0.44*(1500-6000)=-1980psi
e. PpB=c+d=6354.92-1980=4374.92 psi =
f. Pp B(ppg)=4374.92/0.052*5030=16.7ppg


Gambar di bawah ini menunjukkan kurva Pp (kuning), Pf(biru) dan Po (magenta) yang digunakan untuk mendesain casing dan penentuan mudweight. Sumbu vertikal adalah kedalaman dan sumbu horizontal adalah tekanan (ppg).

Modified from Halliburton

Dari gambar di atas terlihat bahwa mudweight selalu lebih besar dari Pp dan lebih kecil dari Pf (biasanya di desain lebih besar 0.5-1.0ppg dari Pp). Jika mudweight lebih rendah dari Pp maka akan terjadi kick atau blow out, jika lebih besar dari Pf akan merusak formasi dan bahkan akan terjadi loss circulation.

Dengan pertimbangan shallow hazard dan well stability, besaran mudweight dapat didesain jauh lebih desar dari Pp (tidak lagi 0.5-1.00 lebih tinggi dari Pp), dengan catatan tidak melebihi Pf.

Cara membaca kurva di atas adalah sbb: Mulai kedalaman A digunakan mudweight sebesar a (Pp+0.5 s/d 1.0ppg) lalu dipasang casing, selanjutnya tarik garis vertikal ke bawah sampai akan menyentuh garis kuning (Pp), lalu tarik ke kanan dengan menambah 0.5 s/d 1.0ppg untuk medweight berikutnya sebesar b (baca skala pada sumbu horizontal) lalu pasang casing dan seterusnya. Pada kedalaman A terdapat data LOT (Leak off Test) yang nilainya selalu lebih rendah dari Pf (kurva biru).

Semakin lebar jarak antara Pp dan Pf menunjukkan seal integrity (kemampuan sealing rock menahan hidrokarbon) yang lebih baik dan semakin sempit jarak antara Pp dan Pf menunjukkan sealing integrity yang rendah, disamping itu akan menyulitkan perancangan mudweight itu sendiri. Sumur bor laut dalam memiliki tipikal jarak Pp dan Pf yang sempit dibandingkan dengan laut dangkal.

Selanjutnya, anda harus melibatkan besaran bouyancy pressure yang disebabkan oleh kolom hidrokarbon (gas atau minyak). Sebagai contoh pada gambar di atas jika pada kedalaman B (katakanlah 9000ft) merupakan batas minyak-air dengan pore pressure a (katakanlah 9.0 ppg) dan ketebalan kolom minyaknya h (katakanlah 900ft), maka kalkulasi bouyancy pressure akibat kolom minyak pada kedalaman 8100ft (9000-900) adalah sbb (anggap water gradient 0.4627psi/ft, oil gradient 0.3126 psi/ft, gas gradient 0.11 psi/ft):

a. 0.052*9000ft*9.0ppg=4212psi

b.4212psi-0.4627psi/ft*900ft=3795.57psi = 3795.57psi

c.4212psi-0.3126psi/ft*900ft=3930.66psi = 3930.66psi/(0.052*9000-900)=9.33ppg (bouyancy pressure pada top minyak)

d. 4212psi-0.11psi/ft*900ft=4113psi = 4113psi/(0.052*9000-900)=9.76ppg (bouyancy pressure pada top gas - untuk kasus gas)

Dengan demikian pada kedalaman 8100ft anda akan mendapatkan tekanan (akibat bouyancy pressure kolom minyak) yang jauh lebih tinggi daripada prediksi pore pressure sebelumnya. Jika anda memasang mudweight dengan acuan pore pressure saja, maka tidak mustahil sumur anda akan mengalami bencana bowout.

Jika analisis kecepatan dilakukan untuk seluruh areal penelitian (3D) maka nilai kecepatan tersebut dapat diterjemahkan menjadi volume tekanan. Sebagaimana ditunjukkan pada gambar di bawah ini:

Courtesy Satinder Chopra and Alan Huffman, April 2006 CSEG RECORDER

Gambar di atas merupakan volume pore pressure yang tentunya sangat bermanfaat untuk menganalisa struktur geologi, burial history, akumulasi hidrokarbon, migration pathway, dll.

No comments: